Tuesday, April 26, 2011

Pentingnya Bimbingan Konseling di Sekolah Lanjutan

            Kebutuhan bimbingan konseling di jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama terasa lebih penting daripada di jenjang pendidikan dasar, sebab masalah yang dihadapi anak berusia belasan tahun lebih banyak daripada anak pada tahap perkembangan sebelumnya. Umumnya pada masa ini, anak mendambakan kebebasan dari dominasi orang dewasa.
          Pada jenjang SLTP kebanyakan siswa untuk pertama kalinya berhadapan dengan banyak guru (guru berbagai bidang studi), dengan aneka ciri kepribadian, gaya mengajar, dan cara pendekatan yang mungkin berbeda. karena itu siswa perlu menyesuaikan diri sekaligus dengan banyak guru.
         Banyak pelayanan bimbingan masih ditujukan sebagai bantuan remedial terhadap kegagalan prestasi belajar, hambatan dalamn pergaulan, permasalahan dalam keluarga, atau keluhan guru dan kepala sekolah mengenai disiplin siswa. Dewasa ini bimbingan juga menyangkut penjaringan anak - anak berbakat.
      Bimbingan perlu diberikan berkelanjutan sepanjang hidup bagi mereka yang membutuhkan bantuan. Namun demikian, masa bantuan paling penting dan efektif adalah pada masa kebiasaan, sikap dan ideal baru mulai terbentuk, dan pada masa teknik untuk membantu diri sendiri sedang berkembang. Masa ini bersamaan dengan masa anak duduk di sekolah lanjutan.
            Pada umumnya, siswa SLTP dan SLTA berusia sekitar 12-19 tahun. Masa ini dapat digolongkan masa remaja awal sampai masa remaja akhir. Untuk memahami masa remaja ini perlu dipahami tugas - tugas perkembangan (development tasks) yang harus mereka capai.   
             Bimbingan dan konseling di SLTA ditujukan untuk mengatasi permasalahan seperti tercantum di kurikulum 1975 (dikutip dari Mapiare, 1984: 292-293):
  1. Mengatasi kesulitan dalam memahami dirinya sendiri.
  2. Mengatasi kesulitan dalam memahami lingkungannya yang meliputi lingkungan sekolah, keluarga, dan kehidupan masyarakat yang lebih luas.
  3. Mengatasi kesulitan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang dihadapi.
  4. Mengatasi kesulitan dalam menyalurkan kemampuan, minat dan bakat dalam bidang pendidikan dan kemungkinan pekerjaan secara tepat.


sumber:
Sukadji, Soetarlinah.2000.Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah.Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (L.P.S.P3) Fakultas Psikologi Universitas indonesia.
      

Perbedaan Psikolog Pendidikan & Psikolog Sekolah


  • Perbedaan Psikolog Pendidikan & Psikolog Sekolah Serta Peran dan Tanggung Jawabnya


   Karena sama - sama berkecimpung di ranah sekolah, istilah psikologi pendidikan dan psikologi sekolah sering dipertukarkan. Teoris dan peneliti lebih diidentifikasikan sebagai psikolog pendidikan, sementara praktisi di sekolah lebih diidentifikasikan sebagai psikolog sekolah.
         Psikolog pendidikan berkaitan dengan membantu anak - anak atau anak muda yang mengalami masalah dalam pengaturan pendidikan dengan tujuan meningkatkan proses belajar mereka. Tantangannya dapat mencakup masalah - masalah emosional atau sosial atau kesulitan dalam belajar. Psikologi pendidikan berminat pada teori belajar, metode pengajaran, motivasi, kognitif, emosional, dan perkembangan moral serta hubungan antara orangtua dan anak. Psikolog pendidikan biasa bekerja dalam lingkungan sekolah, perguruan tinggi, dan di lingkungan pendidikan anak, terutama bekerja dengan guru dan orangtua. Mereka dapat bekerja secara langsung dengan anak (misalnya memeriksa perkembangan dan memberi konseling) dan secara tidak langsung (dengan orang tua, guru, dan profesional lainnya). 
            Karena akan bekerja dengan bidang pendidikan, seseorang yang mempelajari materi ini perlu memperhatikan hal - hal berikut:
  1. Proses perkembangan siswa
  2. Cara belajar siswa
  3. Cara menghubungkan belajar dan mengajar
  4. Pengambilan keputusan untuk pengelolaan proses belajar mengajar
         Psikolog sekolah, yang bekerja di sistem sekolah umum bervariasi. Aspek kunci dari pekerjaan psikolog sekolah adalah menguji (testing) sebagian besar anak - anak yang mengalami kesulitan di sekolah, mencoba mendiagnosis masalah dan terkadang menyarankan cara - cara untuk menghadapi masalah tersebut. Psikolog sekolah juga bekerja sama dengan guru untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk anak - anak dalam masalah akademis, emosional, dan perilaku. Beberapa juga menyediakan konseling untuk individu ataupun kelompok.
             Sebagian besar (81%) dari psikolog sekolah bekerja di sekolah negeri. Tempat lainnya seperti di sekolah swasta, lembaga masyarakat, rumah sakit dan klinik, dan universitas. Psikolog sekolah umumnya bekerja sebagai praktisi, staf pengajar di universitas/peneliti.



sumber:

Thursday, April 7, 2011

Apa Saja sih Fenomena Pendidikan yang Terjadi di Indonesia?

MIRA AVRILLIA SYARI
FARAHDIBA MUTIA
RINA NURUL MUSLIMAH


Fenomena 1 : Guru harus mempelajari psikologi pendidikan.
Bukan tanpa sebab, karena yang dipelajari di psikologi pendidikan itu sendiri tidak hanya cara belajar saja tapi juga cara berinteraksi dengan siswa , cara pencapaian tujuan pendidikan yg diberikan sesuai dgn psikologis siswa, dan cara memilih teori belajar untuk siswa. Dari artikel tersebut, kita dapat melihat kembali ke fenomena yang terjadi di Indonesia sendiri dimana kebanyakan guru tidak mempelajari psikologi pendidikan sehingga tujuan guru tersebut dalam melakukan kewajibannya pun menjadi kurang efektif.
             Dalam buku J.W. Santrock dijelaskan bahwa guru membutuhkan dua hal utama , yaitu pengetahuan dan keahlian professional serta komitmen dan motivasi. Berlaku juga pengkondisian operan dalam hal ini. Guru dapat menerapkan positive reinforcement, negative reinforcement dan punishment dalam proses pengajaran. 
            Sebagai contoh:
v  Positive reinforcement = ketika murid mengajukan pertanyaan yg bagus lalu guru memujinya dan kedepannya murid akan lebih banyak bertanya.
v  Negative reinforcement =murid menyerahkan pr tepat waktu dan guru pun akan berhenti menegur sehingga murid makin sering menyerahkan pr tepat waktu.
v  Punishment=murid menyela guru lalu guru menegurnya dan murid itu akan berhenti menyela

Fenomena 2 : Fenomena bunuh diri dan psikologi keluarga
Bunuh diri menduduki posisi ketiga penyebab kematian di kalangan remaja. Masalahnya, remaja dan orangtua menganggap remeh masalah ini dan meyakini tidak akan terjadi pada keluarga mereka. Mereka menemukan bahwa orang dan remaja mampu mengidentifikasi penyebab utama bunuh diri ini, seperti depresi, pengaruh minuman keras, penggunaan obat terlarang, dan problematika hubungan pertemanan remaja.
Tanpa bermaksud deskriminasi, keluarga broken home lebih rentang terhadap penyelewengan sosial. Psikologi keluarga yang dibentuk keluarga di rumah kacau. Keributan antarorang tua, kekerasan suami pada istri, hingga suasana di rumah mencekam. Maka, anak yang terbentuk dalam keluargabroken home berpotensi mengalami stress lebih tinggi.
Pada dasarnya orangtua ingin mengetahui lebih banyak untuk mengidentifikasi perilaku nekat anak yang ingin melakukan bunuh diri seperti apa cirinya, dan bagaimana menolong mereka. Dalam hal ini, Schwartz mengatakan, dokter anak dapat berperan penting menangani fenomena tersebut, dengan secara teratur melakukan pemeriksaan terhadap anak-anak dan remaja yang tengah depresi atau masalah kejiwaan lain yang membuat mereka dalam bahaya.
Diana Baumrind (1971, 1996), seorang pakar parenting, berpendapat bahwa ada cara terbaik mengasuh anak. Ada empat bentuk gaya pengasuhan atau parenting, yaitu :
1.       Authoritarian parenting
Gaya asuh yang membatasi dan menghukum dimana hanya ada sedikit percakapan antara orang tua dan murid dapat menghasilkan anak yang tidak kompeten secara sosial.
2.      Authoritative parenting
Gaya asuh positif yang mendorong anak untuk independen tapi masih membatasi dan mengontrol tindakan mereka sehingga menghasilkan anak yang kompeten secara sosial.
3.       Neglectful parenting
Gaya asuh dimana orang tua tidak peduli atau orang tua hanya meluangkan sedikit waktu dengan anak anaknya dan menghasilkan anak anak yang tidak kompeten secara sosial.
4.      Indulgent paarenting
Gaya asuh dimana orang tua terlibat aktif tetapi hanyasedikit memberi batasan atau kekangan pada perilaku anak dan menghasilkan anak yang tidak kompeten secara sosial.
Adapun psikolog Tika Bisono mengatakan, fenomena bunuh diri pada anak-anak di bawah umur dipicu beberapa faktor. Entah itu karena tekanan dari orangtua, lingkungan bermain, ataupun karena dorongan untuk memiliki sesuatu tidak terpenuhi.

Fenomena 3 : Pendidikan seks bagi pelajar
Fenomena yang saya dapat dari jurnal ini adalah dewasa ini para pelajar sangat akrab dengan sex bebas serta video porno yang juga sudah menjadi hal yang tidak asing bagi mereka terutama di indonesia. Supaya hal ini tidak menjadi hal yg semakin mengancam moral remaja diperlukan pendidikan seksual di sekolah.
Seperti seminar, konseling, dan sejenisnya.Hal ini dirancang sebagai alat kontrol remaja akan bahaya sex.Para pendidik sangat berperan aktif dalam pendidikan sex miasalnya dengan memberikan materi-materi mengenai pendidikan sex di sekolah-sekolah.Jangan ada rasa tabu ataupun risih dalam membahas mengenai pendidikan sex sebab sudah seharusnya anak-anak sejak dini diperingatkan bahaya sex bebas tersebut.Hal terbaru yang saya dengar tentang pendidikan sex anak-anak wanita di suatu sekolah terkemuka di jakarta harus menjalani tes keperawanan ketika ingin masuk ke sekolah tersebut,Hal ini saya rasa adalah suatu terobosan baru yang baik untuk memberantas sex bebas.
Teori psikologi bimbingan sekolah yang bisa saya kaitkan dengan jurnal tersebut adalah teori konstruktivisme yaitu pendekatan pembelajaran yang menekankan agar individu secara aktif membangun pemahaman dan pengetahuan tentang sesuatu hal.Dimana pendidikan seksual harus diberikan kepada remaja agar mereka bisa membangun pemahaman dan pengetahuan tentang sex agar mereka tidak keliru dalam hal ini.Pendidikan sex jangan dijadikan sebagai hal yg sepele krn bila terjadi kesalahan informasi di tahap ini remaja malah akan terjerumus kedalamnya.Sebaiknya para anak-anak diberikan pemahaman langsung dari pendidik agar mereka tidak salah informasi dan mendapatkannya dari orang-orang yang salah sehingga akhirnya malah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Daftar pustaka :
Santrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan 2nd ed. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Tuesday, April 5, 2011

Mengapa Pendidikan Anak Usia Dini Penting?

     Dewasa ini, masih banyak orang tua yang menganggap pendidikan anak usia dini tidak terlalu penting dan tidak diperhatikan. Sebenarnya mengapa pendidikan anak usia dini itu penting? Dan apa sih pengertian dari pendidikan anak usia dini itu sendiri?

  Menurut definisinya, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani.
  Mengapa pendidikan anak usia dini penting? Karena masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika umur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Pahami, masa emas ini hanya datang sekali! Jika terlewat, berarti habis sudah peluang anda.
     Ada 2 tujuan mengapa perlu diselenggarakan pendidikan anak usia dini, yaitu:
  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
     Ruang lingkup pendidikan usia dini:
  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (6-8 tahun)